(Terjemahan Indonesia)
Tim ACHR Mengunjungi Indonesia: Pembaruan dari Gerakan Perumahan Kolektif Lokal
Pada Februari 2024, Asian Coalition for Housing Rights (ACHR) mengunjungi organisasi mitra di Indonesia untuk mendapatkan wawasan lebih dalam tentang gerakan perumahan kolektif lokal, khususnya upaya yang sedang berlangsung untuk memperluas jaringan koperasi perumahan ke tingkat nasional. Proses ini dipimpin oleh Urban Poor Consortium (UPC), salah satu mitra proyek terbaru urbaMonde di Asia. Gerakan perumahan kolektif memainkan peran penting dalam mengatasi ketidaksetaraan perumahan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di lingkungan perkotaan di seluruh dunia. Marina Kolovou Kouri (ACHR) ikut serta dalam kunjungan ini, berinteraksi dengan organisasi di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandar Lampung untuk bertukar pengalaman dan mengumpulkan wawasan.
Mengontekstualisasikan Upaya UPC
Tantangan Perumahan di Indonesia
Sistem pertanahan dan perumahan yang digerakkan oleh pasar di Indonesia telah menyebabkan backlog perumahan yang mencengangkan, yaitu sebanyak 12,5 juta unit. Pemerintah berjanji untuk membangun tiga juta unit per tahun guna memenuhi permintaan yang terus meningkat. Namun, sebagian besar tanggung jawab ini dibebankan kepada pengembang swasta dan perusahaan milik negara—sebuah model yang secara konsisten gagal menyediakan perumahan yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Meskipun 70% rumah di Indonesia dibangun sendiri oleh masyarakat, upaya ini hampir tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah. Sistem pembiayaan yang ada sering kali mengecualikan masyarakat miskin perkotaan, yang tidak memiliki akses ke bank atau jaminan, sehingga kepemilikan rumah menjadi tidak mungkin. Sementara itu, pembangunan perkotaan skala besar mempercepat risiko penggusuran bagi komunitas rentan di kota-kota yang berkembang pesat di Indonesia.
Sebaliknya, perumahan kolektif—yang didasarkan pada kepemilikan bersama, sumber daya bersama, dan pengambilan keputusan partisipatif—menawarkan alternatif yang berkelanjutan. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi biaya tetapi juga memprioritaskan inklusi dengan memastikan akses bagi populasi yang paling rentan, sekaligus mendorong kohesi sosial. Seiring dengan terus berkembangnya urbanisasi, mengatasi ketidaksetaraan ini menjadi peluang yang mendesak dan penting.
Menetapkan Preseden di Jakarta
Di Jakarta, UPC dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) telah lama mengadvokasi peningkatan kualitas kampung secara langsung dibandingkan dengan penggusuran serta redistribusi lahan dan sumber daya untuk kepentingan penduduk berpenghasilan rendah. Setelah gelombang penggusuran besar-besaran pada 2015-2016, dukungan politik dari Gubernur Jakarta sejak 2017 telah membawa terobosan signifikan di kota ini. Program peningkatan kualitas kampung secara partisipatif, seperti Rencana Aksi Komunitas/ Community Action Plan (CAP) dan Program Implementasi Kolaboratif/ Collaborative Implementation Program (CIP), telah memfasilitasi perbaikan infrastruktur di kampung-kampung tanpa memerlukan sertifikat tanah formal.
Inisiatif ini telah mengubah 21 kampung, dengan rencana untuk diperluas ke 445 kampung lainnya. Terobosan lainnya adalah rekonstruksi perumahan yang didanai pemerintah bagi komunitas yang sebelumnya digusur. Melalui inisiatif ini, koperasi telah diberikan hak pengelolaan, membuka jalan bagi kepemilikan penuh atas perumahan yang telah diperbarui.
Pembelajaran untuk Gerakan Nasional
Keberhasilan ini memberikan pelajaran berharga untuk memperluas inisiatif perumahan kolektif di Jakarta dan kota lainnya. Dengan momentum ini, proyek UPC, bekerja sama dengan urbaMonde, bertujuan untuk mereplikasi strategi ini di delapan kota tambahan—Bandar Lampung, Semarang, Demak, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Palu, dan Kendari—di mana penduduk miskin perkotaan menghadapi tantangan serupa, seperti ketidakamanan kepemilikan tanah dan perumahan yang tidak layak.
Tujuan utama proyek ini meliputi:
- Mengonsolidasikan dan memperkuat organisasi masyarakat,
- Mengumpulkan data berbasis komunitas mengenai kebutuhan lahan dan perumahan,
- Mendirikan koperasi di tingkat kota dan nasional,
- Mengembangkan mekanisme keuangan berbasis komunitas, dan
- Berkolaborasi dengan arsitek, perencana, dan universitas untuk merancang rencana peningkatan partisipatif.
Di tingkat nasional, proyek ini berupaya mengatasi hambatan struktural, termasuk regulasi pertanahan yang ketinggalan zaman dan kurangnya kerangka hukum untuk koperasi perumahan perkotaan. Dengan mengadvokasi reformasi pertanahan perkotaan yang memberikan hak tanah kolektif kepada koperasi, inisiatif ini bertujuan untuk menempatkan koperasi sebagai pengelola utama proyek perumahan dalam sistem koperasi Indonesia.
Lanskap Perumahan Kolektif yang Beragam di Jakarta
Untuk lebih memahami perkembangan gerakan perumahan kolektif lokal dan keterkaitannya dengan proyek yang sedang dijalankan oleh UPC, kami mengunjungi beberapa proyek permukiman penting di Jakarta.
1.Peningkatan di Lokasi dan Reblok
Kampung Tongkol, Lodan, dan Krapu
Ketiga permukiman ini, yang terletak di sepanjang Sungai Ciliwung, menghadapi ancaman penggusuran pada tahun 2015 akibat program normalisasi sungai yang dicanangkan pemerintah. Sebagai respons kolektif, warga mengusulkan rencana alternatif peningkatan kampung di lokasi yang sama serta mengambil peran sebagai “penjaga sungai.” Mereka sepakat untuk memundurkan rumah mereka guna menciptakan jalan akses selebar lima meter dan mulai melakukan kegiatan rutin pembersihan sungai. Rencana mereka mencakup perbaikan infrastruktur, pengembangan proyek pertanian dan penanaman, pemanfaatan peluang wisata, serta pembangunan rumah bambu dua lantai sebagai model berkelanjutan untuk hunian di tepi sungai.
Kampung Marlina
Di Kampung Marlina, yang padat penduduk, perluasan rumah telah hampir menutup jalan akses yang sempit, menciptakan kondisi pencahayaan yang buruk, ventilasi yang tidak memadai, serta gang yang gelap dan sesak. Tujuh keluarga melakukan peningkatan kualitas rumah mereka secara mandiri, menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip hunian sehat dapat mengubah kondisi lingkungan. Rumah-rumah yang telah diperbaiki kini memiliki sirkulasi udara yang lebih baik, pencahayaan alami, dan kelembaban yang lebih rendah, sehingga lebih tahan terhadap kebakaran dan banjir. Sementara itu, gang secara bertahap direvitalisasi menjadi koridor hijau, memberikan ruang yang lebih layak bagi warga untuk beristirahat serta menanam tanaman herbal guna meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan.
2. Konsolidasi Lahan
Kampung di Muara Angke
Terletak di pesisir Jakarta, Kampung Blok Eceng, Tembok Bolong, Blok Limbah, dan Blok Empang menghadapi ancaman penggusuran akibat proyek infrastruktur pemerintah. Pada tahun 2019, warga mulai bekerja sama dengan UPC dan Rujak Center for Urban Studies untuk menyusun rencana konsolidasi lahan yang memungkinkan mereka tetap tinggal di lokasi dengan kondisi yang lebih baik. Dengan menyoroti bagaimana mata pencaharian tradisional mereka, seperti perikanan dan pengolahan hasil laut, berkontribusi pada ekonomi lokal, mereka berhasil memperkuat argumen menentang relokasi. Rencana mereka mencakup pembangunan permukiman dengan fungsi campuran, yang membagi lahan antara infrastruktur dan perumahan. Saat ini, komunitas menunggu kejelasan status lahan sebelum dapat memulai peningkatan kualitas hunian.
Kampung Gang Lengkong
Dulunya merupakan permukiman yang lebih besar, Gang Lengkong telah mengalami konflik lahan yang berkepanjangan dengan klaim kepemilikan yang tumpang tindih serta ancaman penggusuran yang terus-menerus. Sementara sebagian besar warga telah menerima penyelesaian dengan perusahaan yang mengklaim lahan tersebut dan pindah, 12 keluarga tetap bertahan dan terus memperjuangkan proposal konsolidasi lahan. Dengan dukungan dari UPC dan Rujak, mereka merancang konsep yang mengalokasikan sebagian tanah sengketa untuk pembangunan kembali rumah mereka, memastikan hak mereka untuk tetap tinggal dan mendapatkan kepastian masa depan.
3. Kampung Vertikal
Kampung Susun Akuarium
Pada tahun 2016, komunitas Akuarium menghadapi pembongkaran mendadak terhadap rumah mereka hanya dalam hitungan hari. Menolak direlokasi ke rumah susun sewa pemerintah (rusunawa), 88 keluarga membangun kembali tempat tinggal mereka dari puing-puing dan, dengan dukungan berbagai pihak, berhasil menegosiasikan pembangunan kampung susun—sebuah “kampung vertikal” bertingkat menengah yang dirancang dengan bantuan Rujak. Proyek ini didanai oleh pemerintah dan dibangun di lokasi yang sama, menjadikannya permukiman pertama yang sepenuhnya dikelola oleh koperasi, yang pada akhirnya akan memiliki kepemilikan penuh atas bangunan tersebut.
Kampung Susun Kunir
Kampung Kunir mengalami penggusuran serupa, meskipun sebelumnya telah diakui sebagai “kampung hijau” dan bahkan pernah menerima penghargaan dari pemerintah. Menolak relokasi ke rusunawa, 33 keluarga melakukan mobilisasi hingga permintaan mereka untuk rekonstruksi di lokasi yang sama diterima. Dengan bantuan desain dari Architecture Sans Frontières Indonesia (ASF-ID), bangunan empat lantai selesai dibangun pada tahun 2022, menyediakan hunian baru bagi keluarga-keluarga tersebut. Saat ini, mereka telah membentuk koperasi Kunir untuk mengelola bangunan dan mengoordinasikan berbagai aktivitas kolektif bagi komunitas mereka.
Alternatif yang Ditawarkan Pemerintah: Rusunawa
Untuk membandingkan pendekatan perumahan konvensional yang diusung pemerintah dengan inisiatif berbasis komunitas, kami mengunjungi kompleks rumah susun sewa menengah (rusunawa) di Waduk Pluit, Jakarta Utara. Diskusi dengan warga dan anggota JRMK mengungkap berbagai kekurangan dalam model rusunawa.
Salah satu perhatian utama adalah kurangnya fokus pada pembangunan komunitas dan pengembangan ekonomi. Tidak seperti proyek perumahan berbasis komunitas yang mengutamakan tidak hanya struktur fisik tetapi juga bagaimana warga berinteraksi, hidup, dan berkembang bersama, rusunawa sering kali mengabaikan aspek-aspek penting dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, banyak kompleks rusunawa dibangun jauh dari lingkungan asal warganya, sehingga berdampak pada mata pencaharian, memperpanjang perjalanan anak-anak ke sekolah, dan merusak jaringan sosial yang memperkuat ketahanan masyarakat.
Meskipun rusunawa dapat memberikan tempat tinggal bagi mereka yang tidak mampu membeli rumah sendiri, model ini bukanlah solusi yang berkelanjutan atau efektif bagi semua orang. Tantangan yang ditimbulkan bergantung pada kondisi ekonomi masing-masing warga. Pekerja formal dengan pendapatan stabil mungkin merasa model ini cukup memadai, tetapi bagi pekerja informal yang penghasilannya berfluktuasi atau bergantung pada usaha berbasis rumah, beradaptasi dengan lingkungan rusunawa bisa menjadi sangat sulit. Seperti yang dijelaskan oleh Koordinator UPC, Gugun Muhammad, rusunawa sering kali mengganggu sumber pendapatan dan aktivitas ekonomi warga, menjadikannya pilihan yang kurang praktis bagi banyak orang.
Solusi perumahan harus melampaui sekadar penyediaan tempat tinggal dengan mempertimbangkan dimensi sosial dan ekonomi dalam kehidupan warga. Partisipasi komunitas yang lebih besar dalam pengambilan keputusan perumahan sangat penting untuk menciptakan model yang menghormati dan mempertahankan mata pencaharian serta jaringan sosial warga terdampak, daripada memaksakan solusi yang seragam untuk semua.
Pencapaian Gerakan dan Pentingnya Perubahan Ini
1. Membangun Kesadaran dan Organisasi Kolektif Masyarakat
Salah satu pencapaian paling luar biasa dari gerakan perumahan di Jakarta adalah bersatunya warga, yang semakin menyadari kekuatan suara kolektif mereka. Seiring waktu, mereka tidak lagi hanya bereaksi terhadap ancaman penggusuran, tetapi mulai secara proaktif mengorganisir diri untuk masa depan mereka. Kesadaran yang berkembang ini—bahwa mereka dapat menuntut hak mereka tidak hanya dalam situasi krisis tetapi juga untuk mencapai peningkatan kualitas hidup yang berkelanjutan—telah memberdayakan seluruh komunitas. Contoh nyata dari perubahan ini adalah terbentuknya 26 koperasi resmi di Jakarta, yang kini menjadi fondasi bagi koperasi perumahan di seluruh Indonesia. Untuk pertama kalinya, komunitas ini memiliki mekanisme hukum untuk mengamankan hak atas tanah dan mengelola sumber daya perumahan mereka secara kolektif.
2. Mendorong Gerakan Lintas Sektor
Gerakan perumahan juga telah membangun jaringan kolaborasi lintas sektor yang kuat, menyatukan LSM, institusi akademik, organisasi akar rumput, dan profesional dari berbagai bidang. Advokasi kolektif ini telah membangun jembatan antara masyarakat miskin perkotaan dan pembuat kebijakan yang berpengaruh, membentuk koalisi kuat untuk perubahan sistemik.
3. Mengubah Sistem dari Akar Rumput
Perubahan Regulasi Bottom-Up dan Redistribusi Sumber Daya
Gerakan perumahan di Jakarta telah mendorong pergeseran dari kontrol pemerintah yang bersifat top-down ke pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis komunitas. Inisiatif seperti Rencana Aksi Komunitas (CAP) dan Program Implementasi Kolaboratif (CIP) memungkinkan kolaborasi antara warga, LSM, dan pemerintah dalam membentuk lingkungan mereka.
Izin Mendirikan Bangunan Kolektif
Terobosan lainnya adalah penerbitan izin mendirikan bangunan kolektif untuk koperasi di beberapa kampung di Jakarta, yang mengubah bangunan yang sebelumnya dianggap “ilegal” menjadi aset yang diakui secara hukum.
Reformasi Tanah Perkotaan
Program ini bertujuan untuk memberikan lapisan perlindungan tambahan dengan memberikan hak tanah kepada keluarga miskin perkotaan yang telah tinggal di lokasi tersebut selama beberapa generasi. Dengan mengadvokasi perubahan ini, gerakan ini berkontribusi pada keadilan sosial dan lingkungan, memberdayakan komunitas untuk menentukan masa depan permukiman mereka sendiri.
Mengaktifkan Kembali Gerakan Masyarakat di Bandar Lampung
Bandar Lampung, yang terletak di Pulau Sumatra, adalah salah satu dari sembilan kota tempat proyek UPC saat ini berjalan. Sebagai kota pesisir, Bandar Lampung menghadapi ancaman ganda berupa banjir akibat pasang surut air laut serta curah hujan tinggi yang mengalir dari perbukitan sekitarnya. Garis pantainya yang membentang sepanjang 27 kilometer dipenuhi oleh kampung-kampung yang menghadapi berbagai tantangan serta tingkat ketidakpastian kepemilikan lahan yang beragam.
Meskipun gerakan masyarakat setempat sebelumnya telah berhasil mengamankan sertifikat tanah bagi banyak keluarga, pengumuman pada tahun 2004 mengenai rencana pengembangan Bandar Lampung menjadi kota tepi laut modern—dilengkapi dengan plaza dan fasilitas wisata—menimbulkan ketidakpastian bagi masa depan kampung-kampung yang sudah ada. Peraturan yang mengharuskan jarak 100 meter dari garis pantai untuk mengurangi risiko banjir semakin memperumit situasi, meskipun para investor terus membeli lahan pesisir dalam jumlah besar, berspekulasi atas keuntungan di masa depan ketika visi kota ini terwujud.
Meskipun rencana ambisius tersebut telah lama diumumkan, perkembangannya berjalan lambat dan proyek pembangunan kembali kawasan pesisir masih tertunda. Walaupun dalam beberapa tahun terakhir tidak terjadi penggusuran, ancaman yang terus membayangi membuat banyak warga enggan meningkatkan kualitas rumah mereka, karena takut akan digusur akibat penerapan peraturan garis sempadan pantai atau klaim kepemilikan tanah oleh investor.
Gerakan masyarakat berbasis komunitas, yang sempat melambat dan hampir terhenti dalam beberapa tahun terakhir—terutama selama pandemi—kini mulai diaktifkan kembali melalui proyek UPC. Upaya sedang dilakukan untuk menghidupkan kembali organisasi masyarakat, mendirikan serta mendaftarkan koperasi, dan menyusun rencana peningkatan kampung pesisir. Inisiatif ini didukung oleh proyek lain yang dikelola oleh ACHR dan didanai oleh Yayasan SELAVIP, yang akan menyediakan proyek percontohan untuk peningkatan kualitas perumahan dan infrastruktur. Terinspirasi dari kota-kota lain, tujuan utama dari inisiatif ini adalah menampilkan solusi yang inklusif dan berketahanan iklim, yang mengutamakan mata pencaharian serta kegiatan lokal sebagai alternatif dari pembangunan pesisir yang didorong oleh pemerintah dan investor.
Untuk mendapatkan wawasan yang lebih dalam mengenai tantangan dan aspirasi lokal serta memulai proses di Bandar Lampung, kami mengunjungi tiga kampung pesisir—Kangkung, Bumiwaras, dan Kunyit. Setiap permukiman menghadapi permasalahan unik yang disebabkan oleh lokasinya yang berada di pesisir serta kondisi sosial-ekonomi yang beragam. Berbagai jenis hunian ditemukan di wilayah ini, mulai dari rumah bata yang kokoh hingga rumah panggung yang rapuh di atas laut. Pengaturan kepemilikan tanah pun beragam, dengan beberapa rumah tangga memiliki sertifikat tanah, sementara yang lain masih terjerat dalam sengketa yang telah berlangsung lama. Permukiman ini menghadapi tantangan lingkungan yang signifikan, seperti banjir berulang, menurunnya industri perikanan lokal, sanitasi yang buruk akibat toilet umum yang dibangun di atas air, serta sistem pengelolaan limbah yang tidak memadai.
Setelah mengunjungi komunitas ini dan berdiskusi dengan warga serta pemimpin setempat, diadakan pertemuan untuk merumuskan langkah kolektif ke depan. Menjadi jelas bahwa tantangan yang dihadapi komunitas ini bukanlah masalah yang terisolasi, melainkan persoalan bersama yang membutuhkan solusi kolektif. Strategi utama mereka adalah mengembangkan rencana alternatif berbasis masyarakat untuk kota tepi laut—sebuah bukti bahwa mereka mampu mengelola tanah mereka secara bertanggung jawab. Dengan pemahaman ini, komunitas memutuskan untuk bersama-sama mengupayakan sertifikasi tanah kolektif, menyadari kekuatan solidaritas. Peningkatan kualitas perumahan dan kondisi kehidupan, serta pengelolaan limbah, muncul sebagai tujuan utama—tidak hanya untuk meningkatkan keseharian warga tetapi juga untuk mengubah citra kampung serta membangun kepercayaan dengan pihak berwenang.
Meningkatkan Kerja Sama dalam Gerakan Perumahan Kolektif di Yogyakarta
Pemberhentian terakhir dalam perjalanan ini membawa kami ke Yogyakarta, Jawa Tengah, salah satu dari sembilan kota yang secara aktif terlibat dalam gerakan koperasi perumahan. Di sini, kami bertemu dengan mitra ACHR, yaitu Arkom dan Jaringan Komunitas Kalijawi. Yogyakarta, yang terkenal dengan warisan budayanya yang kaya, menghadapi tantangan unik, termasuk tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan pusat-pusat perkotaan lainnya di Indonesia. Sebagai Daerah Istimewa yang berada di bawah kekuasaan Sultan, sistem pemerintahannya menambah kompleksitas dalam perjuangan akses terhadap tanah dan perumahan, menjadikan kota ini sebagai titik fokus bagi solusi berbasis komunitas serta perubahan sistemik yang lebih luas.
Jaringan Komunitas Kalijawi, yang didirikan pada tahun 2012, menyatukan lebih dari 300 rumah tangga dari 15 kampung di sepanjang sungai kota. Dengan dukungan dari Arkom, jaringan Kalijawi telah mencapai kemajuan signifikan dalam melaksanakan proyek peningkatan kampung di tepi sungai, mengumpulkan tabungan kolektif lebih dari satu miliar rupiah, serta mengamankan kepemilikan tanah bagi beberapa rumah tangga. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak anggotanya yang meresmikan upaya mereka dengan mendaftarkan diri sebagai koperasi. Namun, tantangan masih ada, termasuk kendali Sultan atas tanah serta tekanan pasar yang semakin meningkat, yang menegaskan urgensi untuk memperkuat model perumahan kolektif guna melindungi pencapaian yang telah diraih.
Merefleksikan perjalanan mereka, Arkom dan Kalijawi berada pada momen transformatif yang penting. Yuli Kusworo, salah satu pendiri dan Direktur Arkom saat ini, menekankan bahwa meskipun pengorganisasian komunitas telah menjadi inti dari upaya mereka selama bertahun-tahun, kini gerakan ini telah mencapai titik kekuatan yang memungkinkan mereka untuk beralih fokus. Ke depannya, mereka berencana memperluas upaya mereka untuk menangani tantangan perkotaan dan nasional yang lebih luas, termasuk reformasi tanah dan perubahan iklim.
Bekerja sama dengan UPC dan Jaringan Kalijawi, Arkom kini berupaya memperluas jangkauan organisasi masyarakat di Yogyakarta dengan mendirikan koperasi baru yang akan memimpin upaya lokal dalam meningkatkan akses terhadap tanah, perumahan, dan sumber daya penting lainnya. Perluasan ini, yang merupakan bagian dari proyek yang didukung oleh urbaMonde, melibatkan peralihan dari model koperasi saat ini—yang menghubungkan keluarga dari berbagai kampung—ke arah koperasi berbasis wilayah. Alasan di balik perubahan ini adalah untuk menyelaraskan keanggotaan koperasi dengan area geografis tempat warga tinggal, sehingga koperasi ini dapat menjadi entitas resmi yang memegang hak atas tanah serta mengelola unit perumahan.
Salah satu inisiatif utama yang menonjol adalah upaya Arkom dalam menjembatani kesenjangan antara komunitas dan tenaga profesional melalui Akademi Arsitek Komunitas (AKAR). AKAR dirancang untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu-isu perkotaan di kalangan arsitek komunitas dan profesional lainnya. Dengan menawarkan kursus fleksibel selama satu tahun, akademi ini mengintegrasikan perspektif interdisipliner dari sosiolog, arsitek, perencana, dan ahli lainnya. Kurikulumnya mencakup berbagai topik, mulai dari teori perkotaan hingga lokakarya praktis yang berfokus pada solusi untuk isu-isu seperti pengelolaan limbah, sistem air, dan transportasi. Inisiatif ini tidak hanya meningkatkan kapasitas para profesional tetapi juga menyediakan platform untuk membangun keterampilan yang dibutuhkan guna memperkuat dan memperluas gerakan perumahan koperatif berbasis komunitas di seluruh Indonesia.
Meningkatkan Kerja Sama dalam Gerakan Perumahan Kolektif di Yogyakarta
Pemberhentian terakhir dalam perjalanan ini membawa kami ke Yogyakarta, Jawa Tengah, salah satu dari sembilan kota yang secara aktif terlibat dalam gerakan koperasi perumahan. Di sini, kami bertemu dengan mitra ACHR, yaitu Arkom dan Jaringan Komunitas Kalijawi. Yogyakarta, yang terkenal dengan warisan budayanya yang kaya, menghadapi tantangan unik, termasuk tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan pusat-pusat perkotaan lainnya di Indonesia. Sebagai Daerah Istimewa yang berada di bawah kekuasaan Sultan, sistem pemerintahannya menambah kompleksitas dalam perjuangan akses terhadap tanah dan perumahan, menjadikan kota ini sebagai titik fokus bagi solusi berbasis komunitas serta perubahan sistemik yang lebih luas.
Jaringan Komunitas Kalijawi, yang didirikan pada tahun 2012, menyatukan lebih dari 300 rumah tangga dari 15 kampung di sepanjang sungai kota. Dengan dukungan dari Arkom, jaringan Kalijawi telah mencapai kemajuan signifikan dalam melaksanakan proyek peningkatan kampung di tepi sungai, mengumpulkan tabungan kolektif lebih dari satu miliar rupiah, serta mengamankan kepemilikan tanah bagi beberapa rumah tangga. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak anggotanya yang meresmikan upaya mereka dengan mendaftarkan diri sebagai koperasi. Namun, tantangan masih ada, termasuk kendali Sultan atas tanah serta tekanan pasar yang semakin meningkat, yang menegaskan urgensi untuk memperkuat model perumahan kolektif guna melindungi pencapaian yang telah diraih.
Merefleksikan perjalanan mereka, Arkom dan Kalijawi berada pada momen transformatif yang penting. Yuli Kusworo, salah satu pendiri dan Direktur Arkom saat ini, menekankan bahwa meskipun pengorganisasian komunitas telah menjadi inti dari upaya mereka selama bertahun-tahun, kini gerakan ini telah mencapai titik kekuatan yang memungkinkan mereka untuk beralih fokus. Ke depannya, mereka berencana memperluas upaya mereka untuk menangani tantangan perkotaan dan nasional yang lebih luas, termasuk reformasi tanah dan perubahan iklim.
Bekerja sama dengan UPC dan Jaringan Kalijawi, Arkom kini berupaya memperluas jangkauan organisasi masyarakat di Yogyakarta dengan mendirikan koperasi baru yang akan memimpin upaya lokal dalam meningkatkan akses terhadap tanah, perumahan, dan sumber daya penting lainnya. Perluasan ini, yang merupakan bagian dari proyek yang didukung oleh urbaMonde, melibatkan peralihan dari model koperasi saat ini—yang menghubungkan keluarga dari berbagai kampung—ke arah koperasi berbasis wilayah. Alasan di balik perubahan ini adalah untuk menyelaraskan keanggotaan koperasi dengan area geografis tempat warga tinggal, sehingga koperasi ini dapat menjadi entitas resmi yang memegang hak atas tanah serta mengelola unit perumahan.
Salah satu inisiatif utama yang menonjol adalah upaya Arkom dalam menjembatani kesenjangan antara komunitas dan tenaga profesional melalui Akademi Arsitek Komunitas (AKAR). AKAR dirancang untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu-isu perkotaan di kalangan arsitek komunitas dan profesional lainnya. Dengan menawarkan kursus fleksibel selama satu tahun, akademi ini mengintegrasikan perspektif interdisipliner dari sosiolog, arsitek, perencana, dan ahli lainnya. Kurikulumnya mencakup berbagai topik, mulai dari teori perkotaan hingga lokakarya praktis yang berfokus pada solusi untuk isu-isu seperti pengelolaan limbah, sistem air, dan transportasi. Inisiatif ini tidak hanya meningkatkan kapasitas para profesional tetapi juga menyediakan platform untuk membangun keterampilan yang dibutuhkan guna memperkuat dan memperluas gerakan perumahan koperatif berbasis komunitas di seluruh Indonesia.
Meningkatkan Perubahan: Masyarakat, Kekuatan, dan Reformasi Perkotaan
Semangat kolaboratif yang terlihat di berbagai gerakan reformasi perkotaan di Indonesia sangat menggembirakan dan menjanjikan masa depan yang lebih baik. Dari kemajuan Jakarta dalam mendapatkan pengakuan resmi bagi permukiman informal, hingga upaya Bandar Lampung mengaktifkan kembali gerakan masyarakat, serta inisiatif koperasi perumahan di Yogyakarta, terlihat ambisi yang jelas untuk memperluas upaya ini—disesuaikan dengan konteks unik masing-masing kota.
Pelajaran yang diperoleh dari Jakarta kini mulai diterapkan untuk menginspirasi dan membentuk gerakan serupa di kota-kota lain, mencerminkan komitmen kuat untuk memperluas jangkauan serta dampak solusi perkotaan berbasis komunitas. Gerakan ini berlandaskan tiga pilar utama: keamanan kepemilikan, alternatif berbasis masyarakat, dan aksi kolektif berbasis koperasi.
Meskipun tantangan yang muncul akibat dinamika politik dan tekanan pasar terus berlangsung, laju gerakan ini tidak terbendung. Saat komunitas terus mengorganisir diri, berinovasi, dan berkolaborasi, semakin tumbuh optimisme bahwa melalui aksi kolektif, ketimpangan perkotaan, akses terhadap tanah, serta ketahanan iklim dapat ditangani dengan cara yang berkelanjutan dan berbasis komunitas. Momentum ini terus berkembang, membangun fondasi bagi perubahan transformatif di lanskap perkotaan Indonesia.
Ditulis oleh Marina Kolovou Kouri
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua teman di Urban Poor Consortium (UPC), Rujak Center for Urban Studies, Arkom, Arsitek Kampung Urban (AKUR), Architecture Sans Frontières, Universitas Indonesia, Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), dan Jaringan Komunitas Kalijawi; kepada semua komunitas di Jakarta, Bandar Lampung, dan Yogyakarta yang telah menyambut, menjamu, serta berbagi kisah luar biasa mereka; serta kepada Association urbaMonde dan Geneva Federation for Cooperation atas dukungan pendanaannya.Ucapan terima kasih khusus kepada Gugun, Andi, Dian, Elisa, Marco, Vidya, Amel, Runi, Imam, Herlily, Amira, Minawati, Diani, Eni, Indri, Nurweni, Istiqomah, Topaz, Marsa, Miming, Dedi, Yuli, Udin, Rani, Ainun, Aldi, Esher, Hendra, Kamil, Poppy, dan Herri.
No responses yet