Berbagi Lahan Berbagi Peradaban

Mencatat Upaya RW 22 Muara Angke Merespon Banjir Secara Mandiri

Melalui sebuah poster yang tersebar di berbagai grup WhatsApp pada akhir bulan Januari 2025, BPBD Pemprov DKI Jakarta mengimbau warga untuk mewaspadai adanya potensi puncak pasang maksimum di beberapa wilayah pesisir. Fenomena ini diperkirakan terjadi pada 23-30 Januari 2025, antara pukul 06.00 hingga 11.00 WIB. Salah satu kawasan yang masuk dalam daftar adalah Muara Angke, daerah pesisir di Jakarta Utara yang sering dilanda banjir dan harus selalu bersiap menghadapi air pasang.

Sehari setelah imbauan tersebar, mas Gugun memintaku bertemu dengan ketua RW Muara Angke. Katanya mereka punya kisah inspiratif dalam upaya mandirinya menanggulangi banjir. Aku segera menghubungi kontak yang diberikan, menjadwalkan pertemuan untuk mendengarkan lebih lanjut upaya mereka; merekam bagaimana sebuah komunitas bertahan di tengah ancaman yang terus berulang.

Bertemu Kang Bani dan Pengurus RW 22, Muara Angke

2 Februari 2025. Gerimis baru saja reda siang itu, meninggalkan udara sejuk dan jalanan yang masih lembap. Langit Muara Angke terlihat bersih dengan awan putih yang perlahan menipis, membuka celah bagi cahaya matahari yang belum sepenuhnya tenggelam. Bau khas air laut tercium sejak memasuki area permukiman, menyatu dengan angin yang berembus perlahan.

Diantar ojek online, aku turun di depan sekretariat RW, mengikuti arahan Bani, ketua RW 22 yang sebelumnya mengirim pesan lewat WhatsApp. Di sana, beberapa orang sudah duduk di kursi plastik coklat, mengelilingi sebuah meja panjang. Sepertinya mereka memang sengaja menungguku.

“Silakan duduk” ujar Bani, sambil memberi isyarat ke salah satu kursi yang masih kosong.

Tanpa banyak basa-basi, obrolan langsung mengalir. Aku bahkan belum sempat mengeluarkan catatan ketika Bani dan pengurus RW lainnya memulai cerita. Kami berkenalan. Bani yang akrab disapa Kang Bani, mengeluarkan ponsel dan seketika membuat video, “untuk laporan ini. Biar warga tahu apa yang sedang kita lakukan ini bukan cuma kumpul-kumpul.” Kata Bani sambil terus mengambil video.

Aku mengaktifkan rekaman. Cerita mereka tentang banjir kembali dimulai.

Bertahan di Tengah Banjir: Kisah Swadaya Warga dalam Menangani Genangan di Lingkungan Sekitar

Bani, Ketua RW 22, mengawali ceritanya dengan mengingat kembali banjir besar yang melanda wilayah mereka pada Oktober 2024. Saat itu, warga sebenarnya telah mendapat peringatan tentang potensi banjir bandang. Namun, karena terbiasa menghadapi genangan air akibat rob, banyak yang mengabaikan peringatan tersebut. Bagi mereka, banjir adalah bagian dari kehidupan sehari-hari—datang, menggenangi jalan dan rumah, lalu surut dalam sehari atau dua hari.

Tapi kali itu berbeda. Air datang lebih besar dari biasanya, melampaui prediksi warga. Air datang pada subuh hari. Hitungan jam permukiman mereka segera terendam, menyisakan kepanikan. Banyak warga tak sempat menyelamatkan barang berharga mereka, seperti halnya peralatan elektronik, kasur dan lainnya. Meski demikian, warga masih berusaha tenang, meyakini bahwa seperti banjir-banjir sebelumnya, air akan segera surut dalam satu atau dua hari ke depan.

Namun heran, air tak kunjung menghilang. Satu hari berlalu, dua hari, hingga seminggu, ketinggian air masih bertahan, bahkan bertambah. Para pengurus RW dan RT kembali mencari sumber penyebab. Mereka menemukan bahwa air rob yang biasanya surut dengan cepat kini terjebak dalam cekungan-cekungan baru yang terbentuk setelah hantaman arus pertama–cekungan tersebut bisa mencapai 1 meter. Sehingga genangan yang biasanya hanya 40 cm meningkat hingga 140 cm. Air dari sungai dan laut terus mengalir melalui titik-titik pintu air yang tidak lagi mampu menahannya. Cekungan-cekungan itu justru menjadi perangkap, memungkinkan air rob susulan masuk tanpa hambatan, memperpanjang genangan yang seakan enggan pergi.

Pengalaman banjir yang dialami Bani sejak 2005 tinggal di Muara Angke, membawa ia dan temannya-pengurus RW mempelajari banjir di wilayah mereka. Menurut Bani, salah satu penyebabnya adalah kurangnya jumlah drainase. Namun kebingungan lainnya yaitu, satu-satunya drainase yang saat ini tersedia pun tidak terurus–tidak berfungsi.

“. . .Seharusnya berjalan. Dari kali, masuk ke permukiman, dialirkan di drainase menuju polder, polder dibuang lagi ke kali (sungai). Ternyata di drainasenya yang menuju pompa atau polder terhambat. Yang pertama, jalur terlalu jauh. Kedua mampetnya drainase yang lama tidak dikeruk.. Belum diperbaiki, udah lama, hampir setahunan.” Terang Bani menjelaskan kondisi drainase sebelumnya.

Menurut Bani seharusnya ada pemantauan drainase secara rutin oleh pihak SDA (Sumber Daya Air), namun karena tidak kunjung dicek, akhirnya warga secara mandiri mempelajari karakter air penyebab banjir–mencari tahu kebutuhan untuk menanggulanginya. Barulah kemudian mengajukan hasil amatan tersebut ke pihak SDA untuk mendapat penanganan lebih lanjut.

Momen kampanye pemilihan presiden turut mendorong percepatan penanganan banjir di Muara Angke. Kabar bahwa wakil presiden akan berkunjung ke wilayah ini membuat pihak SDA lebih sigap dalam merealisasikan perbaikan. Bulan Desember, warga dan pihak SDA melakukan perbaikan berdasarkan pengecekan yang sudah dilakukan swadaya; yaitu memperbaiki drainase sehingga bisa mengalirkan air tanpa hambatan ke polder. Kemudian penyodetan; pengerukan jalan alternatif bagi air menuju polder. Proses penyodetan berlangsung lebih lama karena terkendala banjir yang belum kunjung surut. 

“Jadi tepatnya itu 4 hari sebelum tahun baru. Lalu istirahat, lalu diserang banjir, ya kurang lebih setengah bulan (akhirnya penyodetan selesai).” jelas Roy.

Meski perbaikan sudah dilakukan, warga Muara Angke tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai. Musim hujan masih panjang, dan rob bisa datang kapan saja. Namun, ada satu hal yang kini berbeda—mereka tidak lagi hanya menunggu bantuan datang. Bani dan pengurus RW lainnya telah membuktikan bahwa swadaya bisa menjadi langkah awal sebelum perubahan yang lebih besar terjadi. Mereka belajar dari air, memahami pergerakannya, dan berusaha mengendalikannya dengan upaya mitigasi mandiri. 

Upaya Gotong Royong Warga: Dari Penyodetan hingga Patungan Dana

Setelah warga dan pihak Sumber Daya Air (SDA) melakukan penyodetan untuk memperlancar aliran air ke polder, hasilnya mulai terlihat. Kapasitas air yang menggenang di jalan memang berkurang, tetapi hanya sekitar lima hingga sepuluh persen. Selebihnya, luapan dari sungai dan laut masih terus membanjiri permukiman. Ketika dilakukan pengecekan ulang, ditemukan penyebab utama: drainase yang tersumbat.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, kurangnya sistem drainase yang memadai serta regulasi yang belum optimal menjadi faktor utama di balik genangan air yang enggan surut. Namun, warga tak tinggal diam. Inisiatif swadaya mulai digerakkan, dipimpin oleh pengurus RW yang menyadari bahwa menunggu solusi dari pihak luar bukan lagi pilihan.

Pengurus RW mengadakan musyawarah warga dengan mengundang tokoh masyarakat dan perwakilan RT untuk menyusun langkah konkret. Setelah diskusi panjang, mereka mencapai beberapa kesepakatan. Pertama, warga sepakat melakukan swadaya dengan iuran sebesar Rp20.000 per kepala keluarga untuk pembersihan drainase hingga tuntas. Dari 1.600 kepala keluarga yang tersebar di 12 RT, terkumpul dana sekitar Rp14 juta. Uang tersebut kemudian digunakan untuk membayar lima warga yang ditugaskan sebagai pekerja tetap.

Kesepakatan kedua adalah menutup pintu-pintu masuk air dari sungai dan laut ke lingkungan sekitar. Selain itu, warga juga berinisiatif menggalang tambahan dana swadaya untuk langkah-langkah lanjutan. Mereka tak bekerja sendiri—pengurus RW mengundang Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU), dinas SDA, dan petugas pemadam kebakaran (Damkar) untuk turut membantu.

Dalam sistem kerja yang disusun, warga yang dibayar bekerja penuh dari pagi hingga sore, sementara warga yang bergotong royong secara sukarela memiliki waktu yang lebih fleksibel. Dengan upaya kolektif ini, mereka berharap lingkungan mereka tak lagi menjadi langganan banjir yang tak kunjung surut.

Drainase Bersih, Air Rob Lebih Cepat Surut

Pada 19 Januari, warga akhirnya bisa melihat hasil dari kerja keras mereka. Pembersihan drainase hingga ke polder membawa perubahan signifikan—air rob yang sebelumnya kerap bertahan berhari-hari kini surut lebih cepat. Seperti pagi ini, ketika air setinggi 40 sentimeter sempat menggenangi jalan, namun dalam hitungan jam, genangan itu menghilang.

“Tadi pagi kan ada air nih. Air 40 senti. Tapi cuma satu, dua, tiga jam, hilang,” ujar Roy dan Bani melengkapi.

Meski banjir kali ini telah surut, para pengurus RW tak ingin lengah. Mereka tetap melanjutkan program antisipasi banjir yang telah disepakati bersama.

Kita tetap jalankan sesuai kesepakatan. Bahwa pekerjaan kita mengantisipasi banjir itu dari hulu sampai hilir,” tegas Bani, menekankan bahwa upaya mitigasi ini masih jauh dari selesai.

Salah satu langkah berikutnya adalah mencari material puing untuk pengurugan jalan. Setidaknya 70 truk puing dibutuhkan untuk meninggikan permukaan jalan di seluruh wilayah RW 22. Pengurugan ini menjadi solusi sementara untuk mengurangi intensitas genangan, mengingat drainase belum tersedia di setiap sisi jalan. Dengan langkah-langkah ini, warga berharap banjir tak lagi menjadi ancaman yang terus berulang.

Kritik Warga dan Harapan pada Pemerintah

Di tengah upaya pengurus RW menangani banjir, sebagian warga ada saja yang meragukan efektivitas langkah-langkah yang dilakukan. Mereka merasa bahwa tanpa campur tangan pemerintah yang lebih serius, masalah ini tak akan pernah benar-benar selesai.

Menurutnya, seharusnya pemerintah daerah bersama dinas Sumber Daya Air (SDA) lebih serius dalam menata sistem drainase dalam membangun jalan inspeksi di titik-titik krusial, seperti di Jalan Ujung 1 dan Ujung 2. Pembangunan jalan seharusnya dilakukan lebih serius dengan mempertimbangkan mitigasi banjir di wilayah ini—harus disertai drainase yang memadai.

Bani sebagai pengurus RW mengusulkan agar setiap jalan utama memiliki drainase di sisi kanan dan kiri. Konsepnya sederhana: ketika air dari sungai dan laut meluap, drainase pertama akan menampungnya. Jika kapasitasnya penuh, air dialihkan ke drainase kedua. Melalui cara ini, air yang menggenang di jalan hanya tinggal sisa sedikit dan akan lebih cepat surut.

Lebih dari itu, ia juga meminta agar pemerintah menyediakan pompa air untuk mempercepat aliran air keluar dari permukiman. 

“Ini harusnya pemerintah daerah melakukan itu (yang diusulkan Bani). Itu jalan melakukan mitigasi (banjir),” tambahnya.

Lebih dari Sekadar Mitigasi: Loyalitas Pengurus dalam Penanggulangan Banjir

Di sekretariat RW 22, beberapa pengurus sudah berkumpul. Bani duduk bersama Roy, sekretaris RW, serta Pak Leman dan Pak Dores yang bertanggung jawab di bidang keamanan. Mereka terlihat santai, tetapi ada keseriusan dalam obrolan mereka. Setiap pembicaraan selalu kembali pada satu hal: bagaimana menanggulangi banjir yang terus menjadi persoalan utama di wilayah mereka.

Sejak 2017, Bani aktif di komunitas nelayan dan Gerakan Nelayan Tradisional Kaliadem (Gentak) Muara Angke. Pengalamannya berorganisasi membuatnya memahami bahwa sistem kepengurusan yang hanya didasarkan pada kesepakatan warga sering kali tidak berjalan efektif.

“Karena kalau (hanya) kesepakatan (warga), yang ditakutkan adalah Pengurus yang akan membantu wilayah tidak benar benar dari hati dirinya, karena terpaksa.” Maka, ia mencari orang-orang yang punya waktu luang dan hati ingin membangun wilayah untuk benar-benar terlibat.

Salah satu bentuk komitmennya seperti yang dilakukan Pak Leman. Sehari-hari, ia bekerja sebagai buruh di kawasan industri, dengan jam kerja Senin hingga Jumat. Namun, keterbatasan waktu kerja tidak menjadi alasan baginya untuk lepas tangan terhadap wilayah. Bani mengenang suatu hari ketika Pak Leman, yang baru saja sampai rumah dan bersiap beristirahat, segera keluar memantau wilayah.

“Pulang ke rumah itu jam 5 sore. Jam 5 istirahat, jam 7 sudah star, muter ke warga.” Kata Bani menceritakan.

Setiap malam, setelah lelah bekerja, Pak Leman tetap menyempatkan diri berkeliling lingkungan, memastikan kondisi warga, mengecek apakah ada genangan air, atau apakah ada perbaikan yang perlu segera dilakukan, atau hal lain di luar itu semua yang menjadi masalah bersama bagi warga. Hari Sabtu dan Minggu, waktunya sepenuhnya ia curahkan untuk RW.

Bagi Bani, inilah kunci utama keberhasilan RW 22 dalam menanggulangi banjir—bukan sekadar strategi teknis, tetapi adanya pengurus yang benar-benar peduli dan mau terlibat langsung.

“Saya gak peduli mereka (pengurus) punya potensi atau tidak, dan gak peduli punya kemampuan apa. Yang terpenting adalah orang yang tiap harinya (bisa) sama saya. Orang yang ngumpul bareng, ada waktu untuk wilayah.”

Prinsip ini terbukti berhasil. Dua tahun sejak sistem ini diterapkan, para pengurus yang benar-benar berkomitmen masih bertahan hingga kini.

Saat masih menjadi ketua komunitas, Bani memperhatikan bahwa awalnya banyak orang yang bersemangat mengikuti organisasi. Namun, seiring waktu, banyak yang mundur karena kesibukan masing-masing. Untuk menjaga agar semangat pengurus tetap terjaga, ia menerapkan pendekatan yang lebih personal.

“Tak kenal maka tak sayang.” Setiap program dimulai dengan membangun kedekatan antar warga dan pengurus. Selain itu, ia menanamkan konsep bahwa setiap masalah yang muncul di lingkungan bisa menjadi peluang untuk memperbaiki keadaan.

“Di mana ada masalah di situ ada nilai keuntungan secara tidak langsung ke pengurus.” Bani ingin para pengurus melihat bahwa ada nilai dalam setiap tantangan yang dihadapi, bukan hanya sebagai beban.

Namun, perjuangan ini bukan hanya soal kemandirian warga. Bani ingin membuktikan bahwa pelibatan warga dalam menyelesaikan masalah wilayah adalah solusi yang lebih efektif dibanding hanya mengandalkan pemerintah.

Menurutnya, jika kepengurusan RW terbukti mampu bekerja lebih efektif, maka seharusnya peran mereka juga lebih dihargai.

“Maka harapan kami, ke depan RT RW tidak lagi (hanya) mendapatkan OP (operasional), tapi juga gaji.”

CATEGORIES:

Uncategorized

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Latest Comments

No comments to show.