“Pedalnya bengkok, Dek.” Wak mengadu, menunjuk pada sepedanya.
“Paling-paling tadi dijatohin dari truk sama tramtib.”
Rupanya sore itu Wak Dadang baru kembali menebus sepeda dari kantor tramtib Jakarta Utara. Sepeda mini berwarna biru bersalur bercak karat itu memang biasa dipakai berjualan kopi sachet seduh di sekitar Taman Fatahillah setiap pagi. Starbike, nama keren model jualan kopi dengan bersepeda seperti itu. Rupanya lagi, ruang publik paling ramai se-Jakarta Utara itu tidak boleh dipakai mangkal berjualan dengan starbike. Tunggu dulu. Mana mungkin mangkal dengan sepeda? Aneh sekali tramtib yang menggaruk sepeda Wak Dadang, sudah berbuat salah dirusak pula satu-satunya alat pencari nafkah itu.
Menjadi pedagang kaki lima di kota besar perlu keuletan, kesabaran, dan keberanian. Seperti yang dimiliki Pak Jamal penjual sate dan Bang Yunus kang ojek, yang terus bekerja dan menolong saat kejadian bom teror di Sarinah. Yang sedang sial, angkringan STMJ di Surabaya diseruduk Lamborghini sembalap liar. Ada pula yang sampai putus asa. Lima tahun lalu, Mohamed Bouazizi di Tunisia protes dengan membakar diri setelah perangkat dagangnya diganggu tramtib kota Sidi Bouzid. Kita tahu, kejadian itu membangkitkan efek kupu-kupu; memicu gelombang pasang Arab Spring yang menerjang batas-batas negara, menjatuhkan pemerintahan korup. Demikian suka duka segelintir rakyat kaki lima.
Kembali ke Jakarta Utara. Seperti juga para tetangganya yang ikut kelompok arisan pembangunan rumah bersama-sama, Wak Dadang dengan penghasilan yang sangat terbatas membutuhkan tempat tinggal di tengah kota untuk dapat beranjak dari lingkaran kemiskinan. Misalnya, dari berjualan kopi sehari didapat penghasilan bersih Rp 20 ribu, dengan menabung Rp 10 ribu per hari Wak Dadang dapat mengangsur arisan rumah sebesar Rp 300 ribu per bulan. Supaya pinjaman Rp 150 juta dari Urban Poor Consortium (UPC) untuk enam keluarga di Tongkol dapat lunas dalam 6 tahun.
Konstruksi bambu: mudah didapat, terjangkau, dan dapat dikerjakan oleh warga.
Bertempat tinggal di kota adalah privilese. Karena kota menawarkan rejeki, pendidikan, wawasan, ide, pergaulan, pengalaman, hiburan, teknologi, dan banyak lagi. Bagi sosiolog perkotaan Henri Lefebvre, “hak atas kota lebih dari sekedar hak untuk mengakses sumberdaya kota, tetapi juga hak untuk mengembangkan diri dengan (turut) mengembangkan kota.” Dan bagi banyak orang saat ini, kota adalah rumah. Apalagi bagi mereka yang lahir dan dibesarkan disana. Seperti halnya Jakarta Utara bagi kebanyakan warga Kampung Tongkol.
Comments are not available at the moment.