Power from Below: Gerakan Perempuan Miskin Kota di Makassar

Power from Below: Gerakan Perempuan Miskin Kota di Makassar

Daeng Caya, Daeng Kebo, dan Lina duduk menunggu Walikota Makassar di kantornya pagi itu. Mereka datang lebih cepat setengah jam dari waktu yang disepakati. Dandanan mereka lebih “rapi” dari biasanya. Selain jilbab, Daeng Caya dan Daeng Kebo juga memakai sepatu sandal dengan hak sedikit tinggi hari itu. Ini berbeda dengan kesehariannya. Dalam sehari-hari mereka biasa mengenakan kaos oblong dan celana tanggung ketika menemui kawan-kawannya yang bertamu di rumahnya. Tapi kali ini mereka akan menjadi tamu pak walikota. Setelah menunggu beberapa waktu, ajudan walikota memberitahukan bahwa pak walikota masih mengadakan pertemuan dengan DPRD, jadi kemungkinan sekitar jam 4 sore baru bisa menemui rombongan KPRM. Daeng Caya, Daeng Kebo, dan Lina kemudian keluar dari ruang tunggu dan memutuskan menyelesaikan urusan lain dulu, baru menjelang jam 4 sore kembali lagi ke kantor walikota. Akhirnya di hari Kamis sore hari, 30 Desember 2010, beberapa perwakilan dari Komite Perjuangan Rakyat Miskin (KPRM) Makassar bertemu dengan Ilham Arief Siradjuddin, Walikota Makassar.

Pertemuan tersebut membicarakan beragam masalah seperti land-sharing di kampung Pisang kelurahan Maccini Sombala, penyediaan lahan milik pemerintah untuk pembangunan balai warga, bantuan hukum untuk rakyat miskin kota dan bantuan kacamata bagi anak miskin yang mengalami gangguan mata. Selain karena hal-hal yang dibahas tersebut menjadi concern gerakan KPRM, juga karena berkait dengan janji walikota kepada rakyat miskin kota Makassar yang tertuang dalam kontrak politik pada tahun 2008.

Kontrak politik yang dilakukan KPRM dan UPLINK dengan Ilham Arief Siradjuddin dan Supomo Guntur (IASMO) menjelang pemilukada Makassar tahun 2008 berisi lima pernyataan yang harus dilakukan IASMO jika menang. Semua berkait dengan hak-hak rakyat miskin kota dan warga lainnya. Kesepakatan terjadi dan deklarasi kontrak politik dilakukan pada 18 Oktober 2008 di lapangan pacuan kuda, Parang Tambung, di hadapan puluhan ribu orang. Ketika akhirnya IASMO menang, KPRM semakin menjadi kekuatan sosial yang diperhitungkan di Makassar.

Apa yang dilakukan KPRM Makassar sejak tahun 2002 telah menjadi tonggak dimulainya gerakan rakyat miskin kota Makassar paska Orde Baru. Yang menarik, selain gerakan ini berasal dari rakyat akar rumput, hampir seluruh pengurus dan anggotanya adalah perempuan. Walaupun tentu tak bisa dipungkiri adanya beberapa “pendamping” laki-laki dalam geraknya, tapi perannya semakin lama semakin berkurang. Hal ini membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi tulang punggung bagi gerakan sosial yang berangkat dari bawah.