Melacak Asal-Usul Neoliberalisme

Share:

Neoliberalisme Dalam Praktek

Ketika gagasan neoliberalisme dituangkan dalam bentuk resep kebijakan inilah, ia kemudian dianggap sebagai satu-satunya jalan menuju kemakmuran. Pada titik ini para pengusungnya meyakini bahwa tidak ada jalan lain di luar neoliberalisme untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. There is no alternative (TINA) jargon yang diperkenalkan oleh Thatcher menandai nilai yang dianut the Iron Lady dari Inggris tersebut terhadap kemanjuran resep neoliberal (George, 1999). Kegagalan sosialisme seiring dengan runtuhnya Uni Sovyet pada awal tahun 1990-an seolah meneguhkan pandangan tersebut. Kevakuman ideologi pasca runtuhnya Uni Sovyet memberi ruang bagi para pengusung gagasan neoliberalisme untuk mengintensifkan ide-ide pro pasar bebas mereka. Melalui berbagai lembaga-lembaga ekonomi internasional gagasan-gagasan neoliberal dipaksakan penerapannya secara global.

Di sektor perdagangan, kelahiran World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994 yang menggantikan rejim perdagangan sebelumnya di bawah GATT, secara gamblang meninggalkan prinsip embedded liberalism(1) yang sarat dengan ide Keynesian menuju penerapan neoliberalisme yang dilandasi semangat pro pasar dan pengkerdilan peran negara. Di sektor finansial, rejim finansial internasional di bawah IMF mengkampanyekan ide-ide neoliberal lewat penerapan Structural Adjustment Program (SAP)-nya yang mensyaratkan sejumlah perubahan-perubahan struktural ketika suatu negara membutuhkan pinjaman dari lembaga tersebut. Keberhasilan kampanye kebijakan neoliberal ditandai dengan kecenderungan negara-negara bekermbang yang mengadopsi resep-resep Washington Consensus sebagai landasan kebijakan ekonomi politik mereka. Krisis finansial yang melanda Asia Timur pada pertengahan tahun 1990-an kembali melegitimasi superioritas neoliberalisme. Krisis finansial tersebut seakan menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi yang dicapai lewat kuatnya peran negara melalui kebijakan developmental state tidak mampu bertahan lama dan justru berakhir dengan krisis.

Namun, benarkah janji-janji neoliberalisme beserta perangkat kebijakannya mampu terwujud? Disinilah kontroversi terhadap neoliberalisme muncul. Sejumlah studi menunjukkan penerapan resep neoliberalisme justru memunculkan degradasi dalam segala aspek kehidupan. Kebijakan neoliberal dianggap tidak hanya menggerogoti kedaulatan negara namun pada saat bersamaan telah memberikan kekuasaan kepada perusahaan multinasional dengan kekuatan modal mereka. Lebih jauh, kebijakan neoliberal juga dituding memperlebar jurang kemiskinan baik di tingkat domestik maupun di tingkat global. Penurunan upah buruh 40 hingga 50% yang diiringi dengan peningkatan biaya hidup yang mencapai 80% pasca penerapan North America Free Trade Area (NAFTA) di Mexico menjadi salah satu bukti kegagalan janji neoliberal (Martinez dan Garcia: (no date)). Dari data yang berhasil dikumpulkan oleh Public Citizen, NGO asal AS yang getol mengkritisi WTO, menunjukkan bahwa sejak WTO diberlakukan jumlah orang miskin yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari(2) meningkat tajam. Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya tingkat kesenjangan antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin dalam kurun waktu 10 tahun terkahir. Pendapatan rata-rata orang yang tinggal di 10 negara paling kaya di dunia pada tahun 1980 adalah 77 kali lebih besar dibanding mereka yang tinggal di 10 negara termiskin di dunia, dan pada tahun 1999 angka tersebut melonjak menjadi 122 kali lebih besar (Wallach dan Woodall, 2004). Lebih jauh UNDP melaporkan bahwa pada tahun 1999, negara-negara maju dengan populasi 22,9% dari total populasi dunia menikmati 84.2% dari GNP dunia, sementara NSB (Negara Sedang Berkembang) dengan populasi 77,1% penduduk dunia hanya meraih 15,8% dari GNP dunia. Ketimpangan semacam inilah yang lebih populer disebut sebagai kondisi ”20 – 80 society” (3).

Penutup

Janji-janji yang tidak juga terwujud telah memunculkan kritik dan mendorong munculnya gerakan resistensi global terhadap praktik-praktik neoliberal. Terlebih, pemaksaan penerapannya melalui lembaga-lembaga ekonomi internasional mendorong munculnya perlawanan atas nama kedaulatan negara. Kemunculan tokoh-tokoh politik seperti Evo Morales dari Bolivia, Hugo Chavez dari Venezuela yang menerapkan kebijakan ekonomi politik yang keluar dari pakem rejim neoliberal menambah daftar gerakan anti neoliberal. Fenomena gerakan anti neoliberal di Amerika Latin tersebut menunjukkan keberanian dan keteguhan para pemimpin politiknya yang berbeda dengan kebanyakan pemimpin politik lain di berbagai belahan bumi yang cenderung sekedar mengekor dan menghamba demi bantuan asing.

Keberhasilan dari keberanian yang ditunjukkan para pemimpin politik di negara-negara Amerika Latin tersebut memang masih perlu pembuktian. Adakah ini dapat mendorong gerakan yang lebih mengglobal atau sekedar gerakan khas Amerika Latin yang memang memiliki sejarah resistensi yang cukup panjang, hanya waktu yang akan membuktikan. Namun setidaknya apa yang terjadi di Amerika Latin belakangan ini seolah menyentakkan dunia bahwa sesungguhnya ada jalan lain di luar resep neoliberalisme yang bisa diambil. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika tulisan ini akan ditutup dengan mengutip apa yang disampaikan oleh Susan George (1999) bahwa “neo-liberalism is not the natural human condition, it is not supernatural, it can be challenged and replaced because its own failures will require this”.

Endnotes:
(1) Embedded liberalism merupakan istilah yang diperkenalkan oleh Ruggie (1982) yang merujuk pada bentuk kompromi antara liberalisme dan kebijakan intervensionis untuk menjamin kesejahteraan domestik.
(2) 1 Dollar AS per hari merupakan batasan yang ditetapkan oleh Bank Dunia untuk mengukur batas kemiskinan yang ekstrim.
(3) Diskusi lebih jauh tentang dampak pasar bebas lihat Poppy S. Winanti ”Fair Trade dan Peluang bagi Industri Kecil dan Menengah Indonesia untuk Menembus Pasar Global”. Laporan penelitian, jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM, 2006

Daftar Pustaka
Axford, Barrie, et.al. (1997). Politics an Introduction. London: Routledge.
Balaam, David N. dan Michael Veseth. (2005). Introduction to International Political Economy 3rd edtion. New Jersey: Pearson Education Inc.
George, Susan. (1999). “A Short History of Neoliberalism” dalam http://www.globalpolicy.org/globaliz/econ/histneol.htm diakses tanggal 11 April 2007.
Heywood, Andrew. (2002). Politics 2nd edition. New York: Palgrave.
Kegley, Charles W and Eugene R. Wittkopf. (2006). World Politics Trends and Transformation 10th edition. Belmont: Thomson and Wadsworth.
Martinez, Elizabeth dan Arnoldo Garcia. (no date), “What is Neoliberalism? A Brief Definition for Activists” dalam http://www.corpwatch.org/article.php?id=376&printsafe=1 diakses tanggal 11 April 2007.
Mas’oed, Mohtar. (1998). “Liberalisme dalam Ekonomi Politik Internasional”. Bahan Kuliah Ekonomi Politik Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM. Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar. (2002). “Tantangan Internasional dan Keterbatasan Nasional: Analisis Ekonomi-Politik tentang Globalisasi Neo-liberal”. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Yogyakarta.
Ravenhill, John (ed). (2005). Global Political Economy. Oxford: Oxford University Press.
Wallach, Lori dan Patrick Woodall. (2004). Whose Trade Organization. New York: The New Press.
Winanti, Poppy S. (2006). ”Fair Trade dan Peluang bagi Industri Kecil dan Menengah Indonesia untuk Menembus Pasar Global”. Laporan penelitian. Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM.(Disampaikan pada Latihan Kader II [Intermediate Training] Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bulaksumur Sleman, 17 April 2007)

Halaman: 1 2 3

Jika Anda menyukai artikel di situs ini, silahkan input Email Anda pada Form yang disediakan, lalu Klik Untuk Berlangganan. Dengan begitu, Anda akan berlangganan setiap update artikel terbaru UPC gratis via FeedBurner ke Email Anda.

Artikel Lainnya