Upaya Penolakan Rencana Pengeboran PT. Lapindo Brantas

Upaya Penolakan Rencana Pengeboran PT. Lapindo Brantas
Lapindo Brantas kembali berulah. Sejak awal Januari 2016 lalu, sejumlah alat berat dari PT. Lapindo Brantas mulai beroperasi menyiapkan area pengeboran (drill site preparation) yang rencananya mulai dilakukan pada Maret 2016 mendatang. Aktivitas persiapan ini berlangsung di sumur Tanggulangin I, desa Kedungbanteng, Sidoarjo, Jawa Timur, yang yang jauhnya sekitar 2,5 kilometer dari pusat semburan lumpur panas Lapindo karena kegagalan dalam pemboran hampir 10 tahun lalu.
Terkait rencana pengeboran tersebut, PT. Lapindo Brantas mengaku telah mengantongi izin operasi dari SKK Migas. Menurut Manajer Humas PT. Lapindo Brantas, Arief Setyo Widodo, semua hal sudah memenuhi syarat dan izin sudah lengkap. Misalnya UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan), yang menurutnya sudah aman. Berbeda dengan ketererangan pihak Lapindo, SKK Migas melalui Elan Biantoro, membantah hal tersebut dan meminta pihak lapindo segera menghentikan aktifitas yang mulai merisaukan warga. Hal senada dilontarkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, yang mengatakan bahwa rencana pengeboran daro PT. Lapindo Brantas tersebut belum mendapatkan izin dari SKK Migas dan pihak Dirjen Migas Kementerian ESDM. Oleh karena itu pengeboran tidak boleh berlangsung, dan Menteri ESDM meminta agar lapindo menghentikan kegiatan meski itu hanya persiapan.
Trauma dengan semburan lumpur panas akibat aktivitas pengeboran PT. Lapindo Brantas pada 2006 lalu, warga yang menamakan diri Korban Lapindo Menggugat (KLM) tidak bisa merima jika PT. Lapindo Brantas kembali beroperasi di Sidoarjo. Hal ini terjadi karena akibat kegagalan dalam pengeboran di sumur Banjar Panji yang dilakukan PT. Lapindo Brantas pada 2006 lalu, yang menyebabkan 16 desa di 3 kecamatan dengan luas tak kurang dari 600 hektar, hingga kini tak dapat ditinggali lagi. Belum lagi kebijakan ganti rugi yang sampai sekarang belum tuntas sepenuhnya, dan harus menggunakan dana dari APBN. Sampai sekarang pun semburan masih berlangsung sehingga hampir sepuluh tahun mengakibatkan kondisi lingkungan memburuk, ikan-ikan di sungai tidak ada lagi, padi dan tambak rusak atau hasilnya menurun, polusi udara karena bau gas methan yang berbahaya bagi kesehatan.
Menyikapi hal ini, Khobir salah satu anggota KLM menerangkan bahwa rencana pengeboran ini meresahkan warga karena terlalu dekat dengan pemukiman dan dikhawatirkan akan terulang semburan lumpur panas seperti yang terjadi di Porong. Walaupun warga korban lumpur tidak menyetujui rencana pengeboran ini, namun protes warga justru direspon dengan teror oleh aparat desa bersama polisi, tentara dan preman. Menurut Khobir, sekitar kanan kiri lokasi rencana pengeboran adalah pemukiman dan lahan pertanian dan perikanan produktif warga, yang seharusnya pemerintah Kabupaten Sidoarjo belajar dari tragedi semburan lumpur Lapindo yang menenggelamkan ribuan rumah, sawah, dan kehidupan warga. “Kita butuh pangan bukan tambang, tegas pria paruh baya yang hingga kini masih aktif dalam memperjuangkan hak-hak korban Lumpur Lapindo.
Masih Perihal penolakan, Jejaring Rakyat Miskin Indonesia (JERAMI) juga melancarkan aksi penolakan dengan mengirim ribuan sms dari anggotanya yang ada di berbagai Kota (Kendari, Makassar, Porong, surbaya, Jakarta, Lampung dan aceh) yang ditujukan kepada Kepala Staff Kepresidenan RI dan Bupati Sidoarjo. Intinya menolak aktivitas pengeboran PT. Lapindo Brantas dan minta pemerintah untuk tidak memberi izin.
Tidak berhenti sampai di situ, sejak 7 Januari 2016 lalu, Urban Poor Consortium (UPC) membuat Petisi penolakan melalui change.org (petisi cabut ijin pengeboran baru Lapindo di Sidoarjo). Sampai 19 Januari 2016, tercatat sudah 23.862 penandatatangan petisi tersebut. Komentar yang muncul dalam Petisi tersebut juga bermacam-macam, baik dengan bahasa yang halus maupun bernada kutukan terhadap PT. Lapindo Brantas maupun ke keluarga Bakrie sebagai pemiliknya.
Terkait hal ini, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, mengaku telah melayangkan surat kepada Menteri ESDM pada 8 Januari 2016 lalu, yang meminta agar pengeboran oleh PT. Lapindo Brantas di Desa Kedung Banteng, Tanggunlangin, Sidoarjo dihentikan.
Bagi UPC dan JERAMI, apa yang terjadi di Sidoarjo, khusunya yang dilakukan PT. Lapindo Brantas, memperlihatkan kondisi industri pertambangan di Indonesia yang cenderung merugikan rakyat. Oleh karena karena itu belajar dari kisruh Lapindo ini, UPC bersama JERAMI berencana melakukan advokasi untuk mengubah kebijakan pertambangan yang hanya berbuah petaka bagi rakyat. Gugun dari UPC menegaskan bahwa perjuangan penolakan pengeboran oleh PT. Lapindo Brantas harus tetap diperluas dan dikuatkan, dan tidak boleh lengah meski telah direspon oleh pemerintah dan pihak Lapindo dengan menghentikan sementara aktivitas pengeboran. Hal ini karena aktvitas pengeboran jilid II oleh Lapindo ini menjadi contoh bahwa pihak tambang bisa saja kembali sewaktu-waktu. Dalam waktu dekat, UPC bersama KLM akan berusahan bertemu langsung dengan Menteri ESDM, guna menutut jaminan bahwa pihak PT. Lapindo Brantas tidak akan menambang lagi di tanah manapun di Indonesia. (Frd)