73 Keluarga Kehilangan Tempat Tinggal karena Digusur

Penggusuran terjadi di permukiman bantaran Kali Ancol, Jalan Kunir, RT.04/RW.06 Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, pada 27 Mei 2015, pagi hari sekitar jam 07.30 wib. 47 rumah yang dihuni oleh 73 Kepala Keluarga, pada pagi tersebut dibongkar paksa oleh sekitar 500 Satpol Pamong Praja kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, dan dibantu oleh polisi dan TNI.
Anehnya, pembongkaran paksa oleh pihak kecamatan Tamansari tersebut dilakukan setelah ada kesepakatan antara warga dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Syaiful Hidayat yang memberi waktu tiga hari kepada warga untuk mengosongkan lahan tersebut terhitung mulai hari Rabu, 27 Mei 2015.
Saat kejadian, beberapa warga mengalami tindak kekerasan. Pihak kecamatan bersama aparat Satpol PP dan polisi, terlihat beringas ketika terjadi saling dorong dengan warga yang jumlahnya tidak seimbang. Bahkan ada beberapa warga kena pukul. Koordinator JRMK (Jaringan Rakyat Miskin Kota) Jakarta, Siti Komariah mengalami luka di jari kelingking dan harus dilarikan ke rumah sakit, yang pada akhirnya harus menerima 9 jahitan. Anak-anak banyak yang menangis, sedangkan ibu-ibu hanya bisa berteriak histeris menyaksikan rumah yang mereka huni selama ini, dirubuhkan oleh aparat dengan menggunakan alat berat.
Penggusuran ini tentu menjadi sebuah kemunduran dari kebijakan pemerintah Provinsi DKI, yang pada era Jokowi sangat menghargai dan mendengarkan suara rakyat. Padahal juga, sebelumnya warga sudah membuat konsep alternative (baca juga : rencana penataan permukiman pinggiran sungai di jakarta) yang sudah diajukan ke Pemprov DKI. Bahkan warga sudah melakukan tindakan nyata yaitu mengubah ukuran rumah agar jalan inspeksi seluas 5 meter dari bibir sungai dapat difungsikan kembali. Tidak hanya itu, warga yang telah menghuni bantaran anak kali ciliwung sejak 1968 ini, telah turut aktif menjaga lingkungan sungai dengan melakukan penghijauan dan pengelolaan sampah.
Hingga kini, warga korban gusuran memilih untuk bertahan di lokasi bekas gusuran dengan mendirikan tenda pengungsian. Beberapa pihak, melalui JRMK Jakarta dan Urban Poor Consortium (UPC) telah berupaya memobilisasi bantuan darurat untuk para korban.
Hingga sehari setelah penggusuran, belum diketahui jumlah kerugian yang dialami, pastinya 47 bangunan hunian bersama 4 unit fasilitas umum (salah satunya adalah sarana ibadah) turut menjadi sasaran gusuran alat berat milik pemerintah. Meski sebelumnya sudah ada kesepakatan antara warga dan pihak pemda, hingga kini belum terlihat langkah nyata dari pemerintah DKI Jakarta untuk para korban gusuran, yang katanya selain akan memberikan kelonggaran waktu, juga akan menyiapkan rumah susun terlebih dahulu untuk para warga yang rumahnya akan dibongkar.
Berdasarkan informasi yang diperolah dari bebarapa media online, Pemprov DKI akan terus melancarakan operasi penggusuran yang akan menyasar 12 RT, 5 RW di dua kelurahan, dimana ada sekitar 601 rumah yang dihuni oleh sekitar 812 keluarga, dengan alas an untuk normalisasi sungai agar tidak banjir.
Perlu dipertanyakan, apakah proyek normalisasi sungai, harus mengorbankan ribuan rakyat yang telah puluhan tahun menghuni pinggiran sungai anak kali Ciliwung? Bukankah ada solusi yang tidak harus menggusur tapi tetap menjadikan sungai menjadi normal kembali? Inilah bukti kebijakan instan yang tidak kreatif dan ambil mudah saja dengan mengorbankan rakyat.