Power from Below: Gerakan Perempuan Miskin Kota di Makassar

Share:

Dalam momen kontrak politik tersebut, KPRM dan UPLINK tidak menggunakan model pengorganisasian lama, tapi menggunakan model yang disebut RAP yang diperkenalkan oleh The Association of Community Organizations for Reform Now ( ACORN) kepada UPC dan UPLINK pada tahun 2007.15 Nama RAP memang diinspirasi dari musik rap yang selain dibawakan dengan cepat juga dilakukan secara berulang-ulang. Metode ini juga dilakukan dengan cepat, umumnya terdiri dari lima langkah yang dilakukan sekira 20 menit. tidak seperti model pengorganisasian komunitas klasik yang membutuhkan waktu lama. RAP merupakan model pengorganisasian di mana organiser (RAP-per) melakukan pendekatan terhadap orang per orang dan meyakinkan mereka untuk bersuara dan terlibat dalam menentukan masalah mereka sendiri dengan melakukan tuntutan atau negosiasi kepada pihak yang dapat membuat atau mengubah kebijakan soal masalah tersebut. Dalam konteks pemilukada Makassar, KPRM mendatangi warga dari rumah ke rumah untuk mengajak mereka, khususnya yang punya hak pilih, memahami masalah yang dihadapi dan terlibat dalam kontrak politik dengan calon walikota agar masalah yang dihadapi diselesaikan oleh calon walikota jika terpilih nantinya.

Sekitar dua bulan RAP dilakukan dengan melibatkan RAP-per kurang lebih 60 orang, baik dari anggota KPRM sendiri maupun jaringan UPLINK. RAP dilakukan terutama di kampung-kampung yang selama ini menjadi kantong-kantong kemiskinan di Makassar. Banyak kendala dihadapi para RAP-per di lapangan, seperti dikira pengemis, dikejar anjing, atau ditolak ketua RT atau RW.16 Walau banyak kendala dihadapi, tapi proses terus berjalan bahkan semakin meningkatkan semangat dan kemampuan para RAP-per. Akhirnya hasil dari Rap tersebut terlihat ketika puluhan ribu orang hadir pada hari Deklarasi Kontrak Politik pada 18 Oktober 2008 di lapangan pacuan kuda, Parang Tambung. Mayoritas yang datang adalah warga dari kampung-kampung yang sebelumnya menjadi target RAP KPRM dan UPLINK.

Di dalam deklarasi kontrak politik tersebut, pasangan IASMO sepakat untuk menandatangi kontrak politik yang berisi lima poin tuntutan warga. Lima poin tersebut meliputi : 1) Mewujudkan Makassar tanpa Penggusuran, dengan Konsep dan Cara-cara Alternatif; 2) Jaminan Hak atas Tanah bagi Rakyat Miskin (melalui sertifikasi atau mediasi); 3) Menyediakan Pelayanan Publik yang Terjangkau dan Berkualitas; 4) Melindungi lapangan Kerja Rakyat Miskin, seperti PKL, Becak, Pemulung, Buruh Harian, dsb; 5) Menata Kota yang Berwawasan Lingkungan secara Partisipatif.

Walaupun telah tercapai kesepakatan antara KPRM-UPLINK dengan IASMO, bukan berarti tugas telah selesai. Ada dua hal, terutama, yang perlu dilakukan oleh KPRM, yakni menggalang dukungan warga agar IASMO menang. Kemudian, jika IASMO menang, melakukan pengawasan, kontrol dan sebaginya agar IASMO menepati janji sesuai dengan kontrak politik. Yang pertama telah dilakukan dengan baik, yakni dengan menangnya IASMO secara telak dalam pemilihan Walikota, terutama di kampung-kampung yang menjadi wilayah RAP KPRM.
Pertanyaan kemudian muncul, setalah IASMO memang dan menjadi penguasa di Makassar, apakah janji-janjinya telah ditepati? Tidak mudah menjawabnya, tapi Daeng Caya, mantan Koordinator KPRM, mengatakan bahwa sudah 50% persen tuntutan KPRM di kontrak politik itu dilakukan oleh walikota terpilih. Hal ini bisa dilihat dari sudah tidak adanya penggusuran, tidak ada penggarukan terhadap usaha rakyat miskin, kemudian walikota juga telah berupaya menyelesaikan sengketa tanah, bahkan menyetujui konsep land-sharing di Kampung Pisang. Pelayanan publik terjangkau sudah dimulai tapi belum maksimal, dan yang belum sama sekali adalah menata kota dengan wawasan lingkungan secara partisipatif.

Tak bisa dipungkiri, paska kontrak politik yang berlanjut terpilihnya Ilham Arief Sirajuddin menjadi Walikota Makassar untuk kedua kalinya, hubungan KPRM dengan walikota semakin dekat. Jika ada persoalan dengan layanan publik, KPRM lewat koordinatornya atau pengurus lainnya bisa langsung “mengadu” ke walikota, yang kemudian akan direspon dengan cepat.

Kelemahan dan Tantangan
Kelemahan mendasar yang terjadi selama ini di KPRM, terutama di masa-masa awal, adalah mudahnya terjadi konflik di antara pengurus. Aktivis-aktivis awal yang menjadi motor gerakan KPRM sudah keluar dan bergabung dengan organisasi lain. Konflik itu ada yang terkait dengan pemilihan pengurus, seperti koordinator. Setiap pergantian koordinator atau kongres yang salah satu agendanya memilih koordinator, selalu terjadi ketegangan di antara mereka. Terjadi blok-blok para pendukung calon koordinator. Pergantian dari Tante Nok ke Daeng Caya, membuat Tante Nok kecewa karena kalah dan akhirnya keluar bergabung dengan organisasi lain. Pergantian dari Daeng Caya ke Lina juga terjadi ketegangan dan terjadi dua kubu yang saling menjatuhkan. Beruntung masih bisa dimediasi dan sudah ada AD/ART sehingga bisa menjadi patokan soal batas waktu periode kepengurusan, dan Konggres juga menempatkan Dg Caya sebagai dewan penasihat KPRM. 17

Tingginya suhu ketika terjadi perebutan jabatan koordinator tak lepas dari sesuatu yang positif sebenarnya, bukan karena uang atau prestise secara sosial. Mereka bertarung dengan sengit untuk menjadi koordinator karena menjadi koordinator mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk mengikuti kegiatan yang dilakukan jaringan UPLINK atau mendapat undangan dari organisasi lain, dan berkomunikasi dengan pejabat, sehingga hal tersebut membuat ketrampilan, pengetahuan dan pengalaman mereka bertambah.

Selain konflik internal, menurut Nawir, KPRM sering mengalami kemacetan ide sehingga menimbulkan kejenuhan karena kegiatan yang dilakukan hanya hal rutin atau bahkan terjadi kevakuman kegiatan. Dalam kondisi ini peran Sekretariat Nasional (Seknas) UPLINK menjadi penting, karena acapkali memunculkan ide-ide baru dan melakukannya secara nasional, yang membuat pengurus dan anggota KPRM bersemangat lagi. Hal ini tentu buruk, karena masih tergantung oleh pihak lain dalam memunculkan ide-ide baru dalam gerakan, walaupun pihak itu masih jaringan sendiri.

Kemudian, kelemahan lain adalah pengelolaan administrasi yang belum baik, misalnya belum selesainya pembuatan kartu anggota KPRM yang telah diupayakan sejak bertahun-tahun. Walaupun sebenarnya terkesan formal, yang tentu di luar tradisi rakyat akar rumput, tapi kartu anggota bisa memudahkan administrasi, memberi identitas dan menghitung kekuatan sendiri. Lewat kartu ini juga bisa mengatasi persoalan representasi atau hak suara dalam pemilihan pengurus, yang beberapa kali menjadi salah satu sebab konflik dalam Kongres. Selain itu, kartu anggota ini juga bisa digunakan untuk melihat anggota mana yang aktif, misalnya dalam membayar iuran. Sebenarnya kartu anggota ini dulu sudah separuh jalan proses pembuatannya, tapi karena persoalan teknis saja yang membuat semua berantakan. Dulu pernah dilakukan mengumpulkan data anggota termasuk foto, bahkan iuran untuk kartu anggota ini, tapi data yang disimpan dalam komputer rusak terserang virus dan tidak bisa diperbaiki. Malah, menurut kabar terakhir, laptop yang dipakai untuk menyimpan file tersebut dicuri orang. Dengan demikian, kelemahan dalam penguasaan teknologi, khususnya untuk menopang administrasi juga terjadi di KPRM.

Catatan Penutup
Tahun ini KPRM genap 10 tahun keberadaannya dan perayaan 10 tahun (satu dekade) KPRM dilaksanakan pada tgl 13 Okotber 2012 lalu, yang dirangkaikan dengan Hari Habitat (1 Oktober 2012) dan Hari Pengurangan Resiko Bencana (13 Oktober 2012). Kegiatan yang dilakukan meliputi Diskusi Kebijakan Publik di Aula Benteng Fort Rotterdam, Pawai Keliling Kota, Pemutaran Slide Movie Satu Dekade KPRM, Orasi, dan Pentas Seni. Pada malam pentasi seni, hadir banyak anggota, simpatisan bahkan deklarator KPRM, yakni Tante Nok dan Mansyur Mula, juga Rudiyanto Asapa, pendiri/mantan direktur LBH Makassar, yang saat ini masih menjabat Bupati Kab. Sinjai dan Cagub Sulsel.

Dari satu dasawarsa keberadaan KPRM ini, pasang surut gerakannya telah terjadi. Kelemahan yang ada sudah mulai pelan-pelan di atasi, misalnya dengan cara “formalisasi” organisasi, yakni membereskan hal-hal terkait administrasi. Ini tentu menjadi tantangan ke depan karena organisasi akar rumput biasa dan bahkan kekuatan utamanya ada dalam informalitas, dimana gerakan dilandasi oleh komitmen, solidaritas, perasaan dalam satu nasib, bukan karena adanya aturan-aturan formal. Tapi ketika organisasi membesar dengan anggota yang semakin banyak, maka adopsi terhadap formalitas menjadi tak terelakkan. Tentu ini masih bisa disiasati untuk hal-hal yang benar-benar perlu saja, misalnya untuk menghindari konflik atau menopang kemandirian orgaisasi.

Tantangan yang kedua, adalah bagaimana organisasi ini bisa memadukan perkembangan di ranah media komunikasi atau informasi, seperti media sosial, dengan media-media tradisional mereka dalam menyampaikan informasi, bertukar pikiran, konsolidasi, maupun membuat sebuah keputusan. Tak dipungkiri hampir semua aktivis KPRM sekarang sudah mempunyai handphone, bahkan sebagian sudah akrab dengan facebook. Saya belum tahu seberapa besar peran media ini untuk KPRM sekarang, tapi sebagian besar organisasi masyarakat sipil telah memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan informasi, kampanye, tuntutan, dan sebagainya. Tapi media sosial mutakhir ini mengandung kelemahan mendasar, yakni terlalu mengandalkan pada teknologi dan bisa seringkali hanya menampilkan hal-hal di permukaan saja, sehingga orang atau organisasi bisa nampak bagus dalam media sosial tapi dalam kenyataan tidak begitu. Dengan kata lain, organisasi bisa terjebak hanya pada pencitraan semata. Jika KPRM bisa memadukan media tradisional seperti pertemuan rutin mingguan/bulanan atau saling kunjung antar anggota dengan media mutakhir, tentu ini semakin memperkuat kohesi sosial mereka sekaligus memperluas jaringan.

Halaman: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Jika Anda menyukai artikel di situs ini, silahkan input Email Anda pada Form yang disediakan, lalu Klik Untuk Berlangganan. Dengan begitu, Anda akan berlangganan setiap update artikel terbaru UPC gratis via FeedBurner ke Email Anda.

Artikel Lainnya