Melacak Asal-Usul Neoliberalisme

Melacak Asal-Usul Neoliberalisme
Poppy S. Winanti
International Relations – Faculty of Social and Political Sciences
Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta 55281
Neoliberalisme. Kata yang kerap menjadi sumber kontroversi pada beberapa dasawarsa terakhir. Para pengusungnya percaya bahwa neoliberalisme merupakan satu-satunya jalan menuju kemakmuran dunia. Di sisi lain, neoliberalisme juga menjadi sasaran kritik dan dituding sebagai sumber kehancuran dan degradasi berbagai aspek kehidupan. Oleh karena itu, menarik untuk memahami asal usul, sejarah kelahiran, maupun perdebatan di seputar keberadaannya.
Memahami Neoliberalisme
Secara sederhana, neoliberalisme dapat didefinisikan sebagai “… an updated version of classical political economy that was developed in the writings of free-market economists…” (Heywood, 2002: p. 49). Definisi yang lebih lengkap dari neoliberalisme dapat ditemukan pada pendapat Balaam dan Veseth (2005, p. 507) yang memaknai neoliberalisme sebagai:
“a viewpoint that favors a return to the economic policies advocated by classical liberals such as Adam Smith and David Ricardo. Neoliberalism emphasizes market deregulation, privatization of government enterprises, minimal government intervention, and open international markets. Unlike classical liberalism, neoliberalism is primarily an agenda of economic policies rather than a political economy perspective”.
Dari definisi tersebut, tampak bahwa neoliberalisme merupakan gagasan yang terkait dengan upaya untuk kembali pada kebijakan ekonomi liberal klasik yang diusung oleh Adam Smith dan David Ricardo. Neoliberalisme dengan demikian dicirikan dengan gagasan yang lebih menekankan pada deregulasi pasar, privatisasi badan usaha milik negara, campur tangan pemerintah yang terbatas, serta pasar internasional yang lebih terbuka. Namun, berbeda dengan liberalisme klasik yang diperkenalkan oleh Adam Smith dan David Ricardo, neoliberalisme lebih merupakan kebijakan ekonomi daripada sekedar sebuah perspektif ekonomi politik. Dengan definisi semacam itu, perlu kiranya dikaji kembali apa yang dimaksud dengan ”liberalisme klasik”. Di samping itu, penelusuran atas perkembangan liberalisme perlu dilakukan agar dapat memahami mengapa “upaya untuk kembali” kepada liberalisme klasik muncul.
Perkembangan Pemikiran Liberalisme
Gagasan neoliberalisme berakar pada tradisi pemikiran liberal yang menempatkan individualisme, rasionalitas, kebebasan, dan equality sebagai nilai-nilai yang paling mendasar.
Asumsi-asumsi Dasar Liberalisme
- Individualisme: manusia sebagai individu merupakan hal yang paling mendasar dalam pandangan kaum liberal. Karena hakekat manusia merupakan makhluk yang penuh damai dan mempunyai kemauan bekerja sama, kompetitif secara konstruktif, dan rasional.
- Equality: setiap individu lahir setara. Namun setiap individu mempunyai kemampuan dan kemauan yang berbeda-beda. Karenanya kaum liberal percaya akan adanya ‘equality of opportunity’ yang memberikan setiap individu kesempatan yang sama untuk mewujudkan potensi mereka masing-masing.
- Kebebasan: kebebasan individu untuk mencapai apa yang terbaik bagi dirinya perlu mendapat jaminan. Kebebasan individu tersebut dijamin melalui mekanisme pasar [invisible hand-Adam Smith]
- Peran negara minimalis: peran negara yang kuat dan aktif dapat mengancam kebebasan individu karenanya campur tangan negara dalam pasar akan merugikan masyarakat. Kaum Liberal memandang ketegangan laten antara negara dan pasar merupakan konflik antara penindasan dan kebebasan, kekuasaan dan hak individu, dogma otokratik dan logika rasional.
Sumber: Heywood, 2002 dan Mas’oed, 1998.
Tradisi liberal bisa ditelusuri dari pemikiran Adam Smith (1723 – 90) ketika ia menerbitkan bukunya yang berjudul The Wealth of Nations pada tahun 1776. Kelahiran gagasan liberalisme Adam Smith tersebut muncul sebagai respon terhadap praktek-praktek merkantilisme di Inggris pada masa itu yang dicirikan dengan kentalnya peran negara. Praktek semacam ini dalam pandangan Adam Smith dianggap hanya menguntungkan segelintir kelompok tertentu dan telah membawa kesengsaraan bagi sebagian besar masyarakat. Tradisi liberal berangkat dari pemahaman bahwa kebebasan individu adalah hal yang paling mendasar dan kekuasaan negara yang berlebihan akan mempunyai potensi merusak tatanan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, tradisi pemikiran liberal pada hakekatnya tidak berarti pemikiran yang anti terhadap negara. Tradisi pemikiran liberal sekedar memagari kekuasaan negara yang cenderung mempunyai potensi merusak. Meskipun tidak serta merta dapat dimaknai sebagai gagasan yang anti negara, liberalisme klasik ala Adam Smith ini percaya pada peran negara yang minimalis. Tradisi liberal yang berangkat dari tradisi Adam Smith ini kemudian diberi label ‘liberalisme klasik’.
Dalam pandangan liberalisme klasik, negara dianggap—meminjam istilah Tom Paine—sebagai ’necessary evil’ (Heywood, 2002). Negara dianggap sebagai ’necessary’ karena negara dibutuhkan untuk membentuk tatanan, menjaga keamanan, dan menjamin tegaknya aturan hukum. Sementara pada saat yang bersamaan, negara juga dapat muncul sebagai ‘evil’ mengingat negara bisa memaksakan kehendak kolektif yang dapat membatasi kebebasan individu. Karenanya, negara yang dibutuhkan adalah negara yang minimal, sekedar merupakan penjaga malam (nightwatchman state).