PETAMBAK MENGADUKAN KASUS PENINDASAN PT. CPB KE KOMNAS HAM

“Udang beku dari PT. Central Pertiwi Bahari (CPB) ini paling banyak diekspor ke negara Amerika Serikat dengan jumlah 8.657.082,95 kg dengan nilai 72.951.435,18 dolar AS. Di bulan Desember 2015, ekspor produk perikanan Lampung sebesar 2.396.876,75 kg dengan nilai 23.958.137,00 dolar. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan November 2015 yang tercatat sebesar 2.283.981,38 kg dengan nilai 21.836.638,80 dolar”. (cpp.co.id)
Gambaran hasil yang demikian besarnya di atas, rupa-rupanya dihasilkan dari derita rakyat petambak Bratasena. Cerita bermula saat tahun 1993 lalu, dengan melibatkan aparat, warga yang sudah terlebih dahulu menjalankan usaha budidaya tambak organik dipaksa untuk menjual lahan tambak mereka dengan harga yang ditentutan sepihak. Tidak berhenti sampai disitu, 2 tahun kemudian warga terpaksa menandatangani perjanjian kerjasama yang isinya juga ditentukan secara sepihak.
***
Lebih 20 tahun kerjasama kemitraan Inti – plasma antara PT. CPB dengan para petambak udang di desa Bratasena Mandiri dan Adiwarna, kecamatan Dente Taladas, kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Oleh Pihak perusahaan dibangun model kemitraan yang menjadikan para petambak budak perusahaan (bonded labour). Betapa tidak, CPB menentukan harga saprodi sangat tinggi, dan harga udang saat panen yang justru jauh dibawah harga pasar. Hasilnya, Setelah bermitra 20 tahun, 1995-2015, hutang 96% petambak berkisar 200-800 juta, 2% berhutang 1,6 milyar, dan hanya 3% lunas. Petambak yang lunas harus menyimpan uang di perusahaan, Rp 25-125 juta/panen.
Niat melepaskan diri dari jerat perusahaan bermula pada tahun 2012 ketika petambak mendirikan Forsil (Forum Silaturahmi), organisasi yang memperjuangkan kemitraan adil. Namun, CPB memaksa petambak membubarkan organisasi tersebut dengan cara menghentikan tebar benih; tidak memberikan bahan pokok dan biaya hidup bulanan sehingga para petambak dan keluarganya nyaris kelaparan. Tidak berhenti sampai disitu, CPB memecat 300 istri petambak yang bekerja di cold storage; menghentikan pasokan air bersih ke rumah-rumah pengurus Forsil. Puncaknya ketika Pihak perusahaan merekayasa bentrok fisik antar petambak, yang meledak pada 12 Maret 2013, bentrokan ini menyebabkan sedikitnya 9 orang meninggal, sekitar 100 luka ringan dan berat, 10 pengurus Forsil dikriminalkan dan 2 orang lagi dipenjara.
Belum lagi pulih dari konflik sebelumnya, saat para petambak mencoba membangun kembali kekuatannya, CPB kembali mengkooptasi sebagian pengurus inti Forsil sehingga organisasi pecah. Para aktivis inti yang masih berpihak kepada kepentingan petambak memisahkan diri, mereka tetap meneruskan perjuangan, menuntut system kemitraan yang adil, hingga pada bulan maret 2016 kemarin, mereka berhasil bertemu menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengadukan nasib yang dialami oleh petambak.
Pertemuan yang direncakanan berhasil, petambak bertemu menteri meski tujuan tidak sepenuhnya tercapai. 10 orang kembali ke kampung dan melaporkan hasil pertemuan mereka saat pertemuan kampung. Namun, naasnya, beberapa oknum mulai menghasut warga petambak lainnya. Orang-orang yang menemui menteri dianggap tidak berhak mewakili petambak. Pengusiran pun terjadi, rumah warga disegel dan dirusak, bahkan ada penjarahan yang dilakukan.

Perwakilan petambak Bratasena,sedang menjelaskan perihal pelanggaran HAM yang mereka alami kepada Nur Kholis.
Pada Senin malam (18/04/2016) tiga orang perwakilan dari para petambak ditemani Heri Usman, Gugun Muhammad (aktivis UPC) dan satu pengacara bertemu dengan Nur Kholis, Koordinator Sub Komisi Mediasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di kantornya.
Marjan salah seorang perwakilan petambak, menyampaikan ke Nur Kholis beberapa fakta tindak kekerasan dan intimidasi yang dilakukan perusahaan terhadap petambak. Marjan, minta komnas HAM segera melakukan investigasi ke lokasi.
Nur Kholis mengatakan 100 keluarga lebih yang diusir paksa akan ia mediasi agar bisa masuk kembali ke lokasi tempat tinggalnya dan aman. Dia menyarankan, setelah mereka masuk dengan aman maka harus ada rekonsiliasi antar warga. Komnas HAM akan melakukan invetigasi setelah melihat hasil investigasi atau mediasi yang dilakukan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemennakertrans).
Langkah berikutnya, petambak dengan didampingi pengacara akan meninjau ulang dan merevisi perjanjian kerjasama (PKS) antar perusahaan dan petambak yang selama ini tidak adil. (Frd)