Dialog Publik, program Integrasi Jamkesda ke JKN

Ketika sesi pemberian pertanyaan atau tanggapan pada peserta dialog, nampak peserta demikian antusias dalam memberikan respon. Daeng Nurung dari kampung Parang Tambung, Tamalate menyampaikan pengalamannya terkait lapayanan BPJS ini. “ Saya baru-baru ini mencoba mendampingi warga yang sakit untuk mendapatkan layanan kesehatan, warga terdaftar sebagai peserta BPJS -PBI. Namun, pasien yang saya dampingi tidak diberi akses untuk rawat inap. Semua tempat penuh, kata perawat. Saya tidak puas dengan jawaban itu, kemudian saya mengecek langsung kamar-demi kamar, ternyata ada empat kamar kosong. Tapi petugasnya bilang bahwa kamar sedang direnovasi,” kata Daeng Nurung. Anehnya, menurut Daeng Nurung, meski tidak mendapatkan layanan fasilitas rawat inap, pasien diberi resep dan diminta untuk membeli obat. Ditambah lagi pasien justru malah dirujuk ke rumah sakit lain, oleh pihak manajemen rumah sakit ternama di Makassar ini. Mendengar cerita Daeng Nurung, beberapa peserta lainnya membenarkan kondisi tersebut yang ternyata juga sering kali terjadi di rumah sakit lain.
Kondisi yang menimpa Yurita dari Maccini Sombala beda lagi. Anaknya, Rosdiana, yang kini duduk di bangku SMP sedang mengalami sakit kronis. Ia sengaja datang memaksakan diri membawa anaknya yang sedang sakit untuk ikut dalam dialog publik ini untuk mempertanyakan dan menceritakan kondisi pelayanan yang telah dia alami langsung. “ Anak saya mulai dirawat tanggal 25 Maret 2016, dan dokter cuma bilang anak saya mengalami sakit SHS, tapi anehnya anak saya tidak diperiksa. Katanya untuk tindakan pemeriksaan, saya harus sedia uang sebesar 1 juta lebih, lebihnya tidak tahu berapa. Kemudian datang lagi dokter lain bilang harus siapkan 1.5 juta, eh tidak lama ada lagi dokter lain bilang cuma siapkan 500 ribu saja. Katanya untuk biaya operasi sumsum tulang. Berapapun itu saya tidak sanggup, dan yang saya tahu anak saya ini peserta KIS kenapa diminta bayar?” jelas Yuita sambil menunjukkan surat keterangan dokter kepada perwakilan dinas kesehatan. “Kemudian tanggal 3 Maret 2016 anak saya diminta keluar, katanya anak saya tidak apa-apa, padahal baru saja anak saya muntah dan keluar darah. Maka diberilah surat ini yang anehnya diberi tanggal 29 Maret 2016 padahal keluarnya bukan ditanggal itu,” lanjut Yurita.
Selain kasus diatas, masih banyak lagi cerita kasus kesehatan yang dialami oleh pengurus KPRM dan warga yang hadir dalam sesi dialog. Intinya, menurut paparan moderator, terjadi diskriminasi layanan serta berkembang berbagai modus layanan yang sifatnya abai terhadap kualitas layanan bagi peserta BPJS-PBI.
Menanggapi keterangan dari peserta dialog, pihak ombudsman menjelaskan bahwa jika mengalami atau menemukan tindak kejadian seperti itu, KPRM bisa melaporkan langsung ke Ombudsman. Sambil menyebutkan nomor kontak yang bisa dihubungi untuk pelaporan. Pihak dinas kesehatan sendiri menganjurkan kepada peserta dialog, bahwa jika ditemui hal seperti itu, kita bisa mendatangi langsung BPJS dan mengajukan komplain, karena di setiap rumah sakit ada perwakilan BPJS, dan kasus seperti itu harusnya bisa ditangani. Bahkan kalau diperlukan bisa diputuskan kontrak kerjasama antara rumah sakit dan pihak BPJS.
Sayangnya menurut warga, justru sepertinya berbagai kasus yang terjadi seolah dibiarkan begitu saja oleh pihak BPJS tanpa ada tindakan serius. Bahkan mereka tidak hadir dalam dialog ini walaupun sudah diundang. Mario David, dari unsur legislative, mencoba menggunakan otoritasnya mengontak langsung pihak BPJS. Menurut pihak BPJS, undangan pertemuan tidak mereka terima. Keterangan via telpon tersebut spontan disambut oleh pengrus yang memperlihatkan bukti tanda terima surat dari BPJS kepada Mario David, yang ternyata sudah dilayangkan oleh pengurus 2 hari sebelum acara terlaksana. (frd)
Halaman: 1 2